Catatan Saeful Yunus
Pertanyaan yang selalu ada dibenak saya dalam mensikapi saat-saat menjelang Pilkada di Bumi Sindangkasih tercinta ini adalah munculnya para pemeran baru dunia politik yang didominasi para pengusaha muda yang sebelumnya masyarakat Majalengka tak pernah mengenal mereka, yang jadi pertanyaan adalah mengapa para pengusaha itu ramai-ramai masuk ke dunia politik?
Sudah bukan rahasia lagi, selama ini memang terdapat simbiosis mutualitistis antara pengusaha dan penguasa. Pengusaha memerlukan dukungan politik untuk kepentingan bisnis dan proyeknya, mulai dari pengamanan infrastruktur bisnisnya, kemudahan mendapatkan proyek pembangunan, kebijakan politik yang mendukung dan bersinergi dengan ‘invasi’ bisnisnya hingga mengamankan seluruh jaringan bisnisnya.
Melihat sepak terjang pengusaha yang begitu mencengkeram para penguasa atau penguasa yang mempunyai gurita bisnis, jelas ini akan sangat membahayakan kehidupan di Bumi Sindangkasih ini. Kepentingan swasta dan asing diduga kuat akan menjadi prioritas penguasa daripada kepentingan rakyat, dengan maksud dan tujuan mengamankan proyek dan mengejar keuntungan semata, apalagi di kabupaten Majalengka akan berdiri pembangunan mega proyek Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB), serta dibangunnya akses Tol yang tentunya akan sangat menguntungkan para pengusaha yang datang.
Selama kampanye nanti dan pembicaraan koalisi partai, kedua calon pasangan kepala daerah tidak ada yang secara vulgar mengkritik dan berupaya mengganti Kapitalisme serta melawan hegemoni budaya impor. Memang, ada statemen dari para calon presiden yang mengatakan akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdiri dengan kaki sendiri dan tidak tunduk pada kekuatan asing. Namun, itu lebih bersifat kalimat untuk konsumsi kampanye saja. Realitasnya jauh panggang dari api. Sudah cukup bukti, penguasa menghamba pada kepentingan pengusaha dan bahkan pihak asing.
Bisa disimpulkan bahwa ke depan daerah Majalengka dan Indonesia pada umumnya akan menjadi negeri korporasi dan modal serta asset kekayaannya yang dikeruk oleh pengusaha dan penguasa. Negara ini tak ubahnya seperti perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi, dan hal ini lah kejadian yang paling menakutkan, bagaimana dengan kabupaten Majalengka,,? .
Pilkada 2018 mendatang ini bakal menjadi pintu utamanya, selain itu, selama kampanye pilkada dan pembicaraan koalisi partai, para calon Bupati dan wakil tidak ada yang secara vulgar mengkritik dan berupaya mengganti kapitalisme serta melawan hegemoni asing. Para calon kerap mengatakan akan menjadikan Majalengka sebagai daerah yang berdiri dengan kaki sendiri, bermartabat dan tidak tunduk pada kekuasaan pusat atau asing.
Namun, itu lebih bersifat kalimat untuk konsumsi kampanye saja. Realitasnya jauh panggang dari api. Sudah cukup bukti, pemimpin yang menghambakan diri pada kepentingan pengusaha hitam dan asing dan terjerat korupsi.
Ke depan, daerah-daerah di Indonesia termasuk Majalengka akan menjadi negeri modal bagi para pengusaha dan penguasa. Majalengka ini tak ubahnya seperti perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan.
Aset-aset daerah yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. Di Indonesia, Pilkada bakal menjadi pintu utamanya. Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang ini berada di pucuk pimpinan parpol, nantinya benar-benar naik ke tampuk kekuasaan, maka perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan semakin nyata. Lihat saja nanti, keputusan-keputusan politik dibuat tidaklah sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan bisnis. Kader partai yang duduk di parlemen pun kelak hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elite partai. Jika selama ini ada sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, maka ke depan UU semacam itu akan lebih banyak lagi bermunculan. Ujungnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan dan kesenjangan sosial. Nah! (***)
0 komentar :
Posting Komentar
Komentar Pembaca