Public Opinion
![]() |
Saeful yunus, SE. MM |
Oleh: Saeful Yunus
Selama ini, transparansi pembagian dana bagi hasil minyak dan gas (migas) ke daerah belum terlihat. Ini menimbulkan berbagai persoalan, bahkan kecemburuan di tingkat daerah. Di sisi lain, ruang lingkup tugas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sempit. Institusi ini hanya memproses dan menyetujui izin eksplorasi yang sudah disepakati kontraknya antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan kontraktor pemenang tender, serta melakukan perhitungan hasil produksi atau eksploitasi.
Semua dana hasil migas diserahkan ke rekening kas Kementerian Keuangan dan untuk pengelolaannya diimplementasikan berdasarkan pasal 33 UUD 1945, bahwa yang mengelola adalah negara, dalam hal ini pemerintah pusat. Dengan demikian, maka pembagian dana hasil migas bukanlah wewenang SKK Migas.
Pada masa eksploitasi sejak 1976, daerah penghasil migas mulai dari Aceh, Kalimantan, Sumatera Selatan dan yang lainnya, seluruh dana hasil migas masuk ke pusat. Tapi pemanfaatannya tidak saja untuk daerah penghasil migas, namun ke seluruh daerah di Indonesia.
Saat itu dana yang terkumpul semua di pusat baru dibagi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, hasil migas yang didapatkan dari daerah penghasil migas larinya tidak langsung dari industri migas ke masyarakat.
Tapi larinya jadi bajunya ibu guru, bajunya bapak guru, kepala kecamatan, bupati. Bukan rakyat tidak menikmati, tapi dinikmati dalam bentuk in kind (setimpal),
Namun, begitu memasuki era reformasi, daerah ingin mendapatkan uang langsung. Sehingga muncul yang namanya dana bagi hasil, di mana daerah mendapatkan 15 persen dari minyak dan 30 persen dari gas.
Tetapi, aturannya mengatakan, apabila kepala sumur berada di suatu kabupaten, maka kabupaten tersebut mendapatkan 6 persen dari bagi rata ke seluruh kabupaten dalam satu provinsi. Perhitungannya, provinsi mendapat 3 persen, maka kabupaten yang ada kepala sumurnya mendapat sebesar 6 persen dari sisa 12 persen yang terlebih dahulu dibagi rata.
Memang kecil. Parahnya, uang tersebut dari pusat ke provinsi 3 persen, turun ke bupati 6 persen. Setelah itu ke mana? Ini yang jadi masalah. Karena yang terjadi dari kabupaten, uang itu digunakan untuk memperbaiki jalan dekat kabupaten, mobil para anggota DPRD, operasional lain-lainnya, sehingga tidak sampai ke kecamatan apalagi desa penghasil migas.(dbs)
Berhenti di Kabupaten
Untuk di kabupaten Majalengka sendiri, dana Sharing Migas melalui Corporate social Responsbility (CSR) dari Pertamina yang diberikan kepada seluruh desa yang mempunyai kekayaan alam berupa minyak dan gas, menurut keterangan dari beberapa desa yang saya temui mengungkapkan bahwa sejak tahun 2014 hingga memasuki akhir tahun 2016 sekarang ini tidak lagi mereka terima, bahkan menurut keterangn salah seorang kepala desa pemerintah daerah kabupaten Majalengka membuat kebijakan yang sepihak dan tidak memberikan penjelasan dari pihak pemerintah secara resmi, yang menjadi pertanyaan adalah atas dasar apa pihak Pemda mengeluarkan kebijakan tersebut, dan apa dasar hukumnya,,??
Karena uangnya berhenti di kabupaten. Maka, ketika saya mempertanyakan hal ini saya katakan, setiap tetes uang yang masuk ke kabupaten distribusikan ke desa penghasil migas kalau memang alasan kebijakan ditambahkan ke Alokasi Dana Desa (ADD) alasan pemerataan seharusnya lebih besar dibanding desa yang lainnya, apalagi dibanding kota kabupatennya. Kalau ini terjadi, desa penghasil migas akan lebih nyaman. Sayangnya itu belum terjadi.
Hal yang dilakukan antara SKK Migas dengan kontraktor adalah mengatur bagaimana hasil produksi yang dibagi sesuai dengan kontrak Production Sharing Contract (PSC) mengacu pada Undang-undang No.22 /2001, Peraturan Pemerintah (PP) No. 42/2002, PP No.35/2004, dan PP No. 34/2005. Setelah sesuai perhitungan PSC, bagian lifting atau produksi yang diperoleh negara diserahkan pembagiannya atas dasar UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 33/2004 tentang Pengaturan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (PKPD), dan PP No 55/2005 tentang Dana Perimbangan.
UU No. 33/2004 Pasal 14 huruf e menjelaskan, penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan, yaitu 84,5 persen untuk pemerintah, dan 15,5 persen untuk daerah.
Sedangkan untuk gas bumi dijelaskan pada Pasal 14 huruf f, yaitu penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dibagi dengan imbangan, yaitu 69,5 persen untuk pemerintah, 30,5 persen untuk daerah.
Bahkan peruntukan dari dana bagi hasil pertambangan migas diatur pada Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi: dana bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas bumi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf e dan huruf f, sebesar 0,5 persen dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
Senior Manager Perpajakan dan Pungutan SKK Migas A. Rinto Pudyantoro pernah menjelaskan bahwa di era sebelumnya, penerimaan negara dari sektor hulu migas didapat setelah direkonsiliasi dengan neraca untung-rugi Pertamina. Kondisi ini berbeda dengan saat ini, di mana penerimaan secara langsung diterima kas negara. Dahulu, besaran retensi atau biaya untuk pengelolaan pengawasan dan pengendalian kontrak kerja sama mencapai 3 persen dari penerimaan migas sedangkan saat ini maksimal hanya 1 persen.
Penyempurnaan Tata Kelola
Dana bagi hasil migas untuk daerah termasuk yang diusulkan agar dicantumkan dalam revisi UU Migas, Sehingga, daerah penghasil migas akan langsung mendapatkan jaminan dana bagi hasil migas. Selain itu diharapkan revisi UU Migas ke depannya dapat dilakukan untuk penyempurnaan perbaikan di sektor hulu migas, antara lain memperbaiki sistem tata kelola dengan penguatan kelembagaan, memperjelas peran masing-masing pemangku kepentingan, meningkatkan partisipasi daerah, pengaturan kekhususan industri hulu migas untuk rezim fiskal dan perizinan, serta mengedepankan peran perusahaan migas milik negara dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. (***)
0 komentar :
Posting Komentar
Komentar Pembaca