SUARA GARDA, Sumedang
Pengalaman yang terjadi pada mata air Cipanteuneun, menjadi pelajaran berharga bagi warga Desa Licin. Makanya, warga Desa Licin menolak keras pengambilan air oleh PDAM Tirta Medal Sumedang di Blok Legoksawit.
“Kerugian yang dialami warga Desa Licin akan lebih banyak lagi. Termasuk, nantinya kekurangan air bersih yang selama ini telah dikelola oleh warga,” ujar Kaur Pelayanan Umum (Yanum) Desa Licin Kecamatan Cimalaka, Maulana kepada Sumeks di kantornya, Kamis (26/1).
Ia menerangkan, pengambilan air dari mata air Cipanteuneun oleh PDAM sejak tahun 1980an, tidak hanya merugikan warga sekitar. Tetapi, banyak warga di beberapa desa dan kecamatan lain, terkena dampaknya. Di antaranya, ratusan hektare sawah dan kolam mengalami kekeringan.
“Setelah air di Cipanteuneun diambil oleh PDAM, kolam saya pun mengalami kekeringan. Hingga kini, menjadi tempat sampah karena tidak adanya ketersediaan air. Terutama pada musim kemarau,” ujar
Maulana mengatakan, tidak hanya kolam miliknya saja yang mengalami kekeringan, puluhan kolam lainnya di Desa Licin dan Desa Cimalaka, mengalami hal yang sama.
Padahal, kata dia, awalnya kolam-kolam tersebut merupakan kolam bagus dan nomor satu dan mampu menjadi sebagian sumber mata pencaharian.
“Kolam-kolam itu bisa menghasilkan perikanan dalam jumlah besar. Terutama, di Pakemitan Desa Licin dan Dusun Lembur Gedong Desa Cimalaka,” jelasnya.
Selain kolam, kata dia, ratusan hektare sawah di beberapa desa dan kecamatan juga mengalami kekeringan pada musim kemarau. Sebutnya, aliran air dari Cipanteuneun akan mengairi sawah-sawah di kawasan Desa Licin, Desa Cimalaka, Desa Galudra serta Blok Sudapati (Desa Serang) Kecamatan Cimalaka.
Disamping itu, sambungnya, aliran air juga mengairi pesawahan di Desa Kebonkalapa, Desa Cisarua, Desa Ciuyah dan Desa Cipandanwangi di Kecamatan Cisarua. “Aliran air dari Cipanteuneun juga sampai ke areal pesawahan di Desa Haurkuning Kecamatan Paseh,” tandasnya.
Dikatakan Maulana, bahkan saat musim kemarau, beberapa sawah di wilayah Kecamatan Cisarua sudah menjadi kawasan sawah tadah hujan. “Karena, pada musim kemarau sungai-sungai akan mengalami kekeringan dan tidak ada air yang mengalir,” jelasnya.
Maulana kembali menegaskan, pengalaman yang terjadi pada mata air Cipanteuneun menjadi pengalaman berharga bagi warga Desa Licin. Makanya, warga Desa Licin menolak keras pengambilan air di Blok Legoksawit.
Hal yang sama diungkapkan Ketua LPM Desa Licin, Dadang Darwin. Ia mengatakan, akibat pengambilan air di Cipanteuneun, kini sawah-sawah hanya mengalami panen satu kali atau dua kali dalam setahun. “Bahkan, saat musim halodo (kering, red) tidak dapat ditanami sama sekali,” tandasnya.
Sementara itu, kata dia, rencana pengambilan air dari Blok Legoksawit dikhawatirkan oleh warga akan berdampak pada berbagai bidang di Desa Licin. Seperti, air dari Blok Legoksawit yang kini dikelola oleh 13 paguyuban mitra cai. Terdiri dari tiga sekolah, dua pengelola air berbadan hukum dan sisanya dikelola oleh RT dan RW akan mengurangi debit air ke warga.
“Sembilan RW dari 10 RW yang ada di Desa Licin mengandalkan air dari mata air Blok Legoksawit. Hanya RW 10 yang mengambil air bukan dari Legoksawit,” tukasnya.
Dikatakan Dadang, pengelolaan mitra cai itu seluruhnya diketahui oleh pihak Pemkab Sumedang karena diperoleh melalui proposal-proposal yang diajukan. Tapi, kata dia, apabila air dari Blok Legoksawit akan diambil oleh PDAM banyak kerugian yang akan dialami oleh warga Desa Licin. Diantaranya, sebagian penghasilan PAD Desa Licin akan berkurang. Sebutnya, warga juga akan mengalami kekurangan stok air bersih.
“Apabila hal itu dipaksakan, seakan-akan PDAM akan mencaplok apa yang selama ini telah dikelola warga. Apalagi, saat ini Pamsimas di Desa Licin sedang berkembang, PDAM juga dianggap telah menghalangi perkembangan Pamsimas oleh warga,” tukasnya. (atp)
0 komentar :
Posting Komentar
Komentar Pembaca